Surga dan Neraka; Pendekatan Logika Matematika

Setiap Manusia Mendapati Surga dan Neraka

Perihal surga dan neraka menjadi masalah yang diperbincangkan banyak orang, hal itu disebabkan kerena manusia pada akhirnya akan mengalami kematian (perpindahan alam dari alam dunia ke alam akhirat). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah setlah kita mengalami kematian, kita akan menempati surga atau neraka atau bahkan keduanya ? Dari semua hal yang paling mendasar tentang surga dan neraka, yang paling penting adalah timbangan amal perbuatan manusia. Ada yang berpendapat bahwa hanya orang yang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat yang akan menempati surga dan yang lainnya akan menempati neraka. Ada yang berpendapat bahwa hanya orang yang lebih besar kadar amal baiknya dibandingkan amal buruknya yang akan menempati neraka. Ada juga yang beranggapan bahwa ketika sesorang dimasa hidupnya berbuat buruk dan sebelum ia meninggal ia bertaubat maka ia akan menempati surga, sebaliknya meski semasa hidupnya ia berbuat baik lalu ia mati dalam keadaan berbuat buruk maka ia akan menempati neraka. Lalu bagaimana kita menentukan apakah sesorang akan menempati surga dan neraka setalah ia mati ?

Salah satu pendekatan yang saya gunakan untuk menentukan mementukan hal tersebut adalah pendekatan logika matematis. Landasan yang saya gunakan adalah Surat Al Zalzalah Ayat 7 & 8.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ .٧

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ .٨
7). And whoso doeth good an atom ' s weight will see it then
8). And whoso doeth ill an atom ' s weight will see it then
7. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.
8. dan Barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.

Sebelum kita membahas lebih jauh dengan menggunakan pendekatan logika matematika, ada baiknya kita menyamakan persepsi berdasarkan ayat diatas. Kata awala Barang Siapa pada kedua ayat tersebut bersifat umum (tidak menyebutkan golongan, suku, bangsa, agama, ras, jenis kelamin dll). Barang siapa dalam dua ayat tersebut yang dimaksudkan adalah semua manusia atau bahkan semua makhluk (bersifat universal). Kata melihat pada kedua ayat tersebut tidak bermakna menyaksikan akan tetapi bermakna mengalami, karena pada dasarnya sesuatu yang terlihat adalah sesuatu yang terjadi apakah hal itu dialami orang lain atau dialami sendiri. Tetapi sesuatu yang dialami oleh orang lain belum tentu dapat kita lihat, sebaliknya sesuatu yang kita alami belum tentu pula dapat dilihat oleh orang lain. Kata melihat pada kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa diri kita yang melihat. Maka yang dapat dipastikan bahwa kita melihatnya adalah apa yang kita alami sendiri bukan yang dialami orang lain.

Berdasar pada kedua ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan logika matematika, maka saya dapat menyatakan bahwa semua orang yang pernah mengerjakan kebaikan maka orang tersebut akan melihat balasannya yaitu amal kebaikan dan akan melihat (mengalami) surga, sebaliknya semua orang yang pernah mengerjakan kejahatan (hal buruk) maka orang tersebut akan melihat balasannya yaitu amal buruk dan akan melihat (mengalami) neraka. Lalu apa gunanya hizab dihari kemudian ? Hizab dihari kemudian hanya untuk menentukan kadar kebaikan dan kadar keburukan sesorang yang dalam hitungan matematis hanya untuk menentukan perbandingan keduanya. Perbandingan kadar keduanya yang akan menentukan periode (lama waktu) sesorang untuk menempati surga dan neraka. Kesmimpulannya adalah siapapun (universal/tanpa pengecualian) yang pernah berbuat kebaikan akan merasakan surga dan siapapun (universal/tanpa pengecualian) yang pernah berbuat kebaikan akan merasakan neraka.

Jika ada yang bertanya bagaimana dengan sosok Firaun apakah ia akan merasakan surga ? Sebelumya kita harus pertanyakan apakah Firaun pernah berbuat kebaikan ? Jika kita yakin bahwa jawabannya adalah pernah, maka jawaban sederhananya adalah jika Firaun pernah berbuat kebaikan sekecil apapun maka ia akan merasakan surga. 

Jika ada yang bertanya bagaimana dengan sosok Nabi apakah ia akan merasakan neraka ? Sebelumnya kita harus pertanyakan apakah Nabi pernah berbuat keburukan ? Jika kita yakin bahwa jawabannya adalah pernah, maka jawaban sederhananya adalah jika Nabi pernah berbuat keburukan sekecil apapun maka ia akan merasakan neraka. 

Contoh :
Si A memiliki hitungan waktu secara matematis dengan umur setelah meninggal adalah 45 tahun 4 bulan 6 hari 8 jam 2 menit 12 detik.
Setelah meninggal dan dihizab :
Si A semasa hidupnya memiliki hitungan secara matematis waktu 25 tahun 2 bulan 3 hari 4 jam 1 menit 6 detik melakukan kebaikan.
Si A semasa hidupnya memiliki hitungan secara matematis waktu 20 tahun 2 bulan 3 hari 4 jam 1 menit 6 detik melakukan keburukan.

Setalah meninggal maka : 
Selama 25 tahun 2 bulan 3 hari 4 jam 1 menit 6 detik ia merasakan surga dan selama 20 tahun 2 bulan 3 hari 4 jam 1 menit 6 detik ia merasakan neraka. 

Hal yang tidak bisa saya pastikan adalah yang mana tempat pertama yang di tempati oleh Si A apakah surga dan neraka tetapi kemungkinan siklus yang dialami Si Adengan pertimbangan bahwa akhirat itu kekal adalah sebagai berikut :






 Demikian penjelasan sederhana dari saya. Wallahu a'lam bissawaf. 
Kutahu Tuhan Itu Komitmen,
Kutahu Tuhan Itu Konsisten,

Akhir kata :
[Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.]
[The truth is from your Lord, therefore you should not be of the doubters.]
(QS : 2 : 147).





Firman Tuhan

Yang kuragukan .....
Bukan permohonanan seorang Budak,
Bukan permintaan seorang Teman,
Bukan perintah seorang Panglima,
Bukan titah seorang Raja,
Bukan sabda seorang Nabi,

Tapi ..... Firman Tuhan ....

Budak memohon aku kabulkan,
Teman meminta aku berikan,
Panglima memerintah aku kerjakan,
Raja bertitah aku laksanakan,
Nabi bersabda aku yakini,

Tapi ..... Firman Tuhan mau kupakan ????

(Bulukumba, Maret 2013. 03:13)

Ajaran

Hidup ini seperti bambu yang memiliki ruas sebagai sekat yang membatasi ruang kosong. Sekat pada bambu bukanlah sebagai penghalang tetapi ruas pada bambu adalah penguat bagi kehidupan bambu. Seperti halnya dalam hidup batasan ruang dalam dimensi kehidupan bukanlah penghalang tetapi hal itu merupakan penguat bahwa kita hidup sebagai manusia bukan sebagai binatang yang tidak memiliki batasan.www.hidup.com

Akal & Keyakinan



Taubat Menghapus Dosa Atau Tidak ?

Setiap manusia biasa dalam kehidupannya hampir bisa dipastikan pernah berbuat dosa baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Dosa secara sederhana adalah perbuatan menyimpang dari aturan Tuhan (Rule of Good) yang dilakukan oleh sesorang manusia. Perbuatan menyimpang yang dimaksud adalah segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan Al-Quraan dan Al-Haditz menurut ajaran Islam dan bertentangan dengan Al-Kitab (kitab suci menurut ajaran agama yang lain).
Dalam ajaran Islam terdapat konsep Taubat yang secara sederhana diartikan sebagai peristiwa kesadaran manusia atas perbuatan dosa yang dilakukan dan pengucapan janji untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut atas kesadarannya. Beberapa orang berpendapat bahwa taubat pada dasarnya akan menghapus dosa manusia yang telah dilakukan sebelumnya. Penyataan tersebut perlu di jelaskan secara detail bahwa dalam ajaran Islam taubat yang dimaksud adalah Taubatan Nasuhah (taubat yang sungguh-sungguh).
Pada hakikatnya, taubat ataupun Taubatan Nasuhah (taubat yang sungguh-sungguh) tidak bertujuan untuk menghapus dosa manusia, akan tetetapi taubat hanya memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk menyadari segala bentuk kesalahan atau perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Hal ini memberikan penjelasan bahwa secara sederhana dosa yang pernah dilakukan oleh setiap manusia tetap tercatat pada catatan malaikat yang menjaga manusia. Jika dikaitkan dengan konsep duniawi pada era modern, malaikat yang mencatat dosa tidak memiliki penghapus (an eraser) atau type ex untuk menghapus dosa-dosa yang telah dicatatnya.
Konsep taubat secara implicit digambarkan dengan pepatah “Kemarau satu tahun terhapus oleh hujan sehari”  artinya jika dipandang dengan kasat mata taubat membawa kedamaian secara spontanitas namun hal yang telah terjadi sebelumnya tetap dirasakan konsekwensinya secara duniawi dan akan tetap dijalani konsekwensinya di akhirat kelak.

Akal & Keyakinan



Tuhan; Skenario Dibalik Dosa
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling Sempurna dengan akalnya namun paling lemah dengan adanya akal tersebut. Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuan berfikir menggunakan akalnya menjadi kelemahan besar bagi manusia. Akal manusia mampu menangkap segala sesuatu yang terjadi di luar dirinya namun tidak mampu menangkap segala-sesuatu yang ada dalam dirinya.
Manusia mampu melakukan sesuatu dengan menggunakan akalnya, kemampuan inilah yang menjadi ukuran dangkal atau tidaknya pikiran seorang manusia. Akal yang menjadi sumber berfikir bagi manusia hanya mampu membedakan sesuatu yang benar dan salah untuk ditransfer pada penilaian hati untuk menentukan baik dan buruknya. Secara logika terdapat perbedaan jelas antara konsep benar dan salah menurut akal dan baik dan buruk menurut hati. Benar menurut akal belum tentu baik menurut hati karena bisa saja benar menurut akal tetapi buruk menurut hati, sebaliknya salah menurut akal belum tentu buruk menurut hati karena bisa saja salah menurut akal tetapi baik menurut hati. Baik menurut hati sudah dapat dipastikan benar menurut akal, sebaliknya buruk menurut hati sudah dapat dipastikan salah menurut akal.
Perdebatan pada wilayah benar dan salah ataupun baik dan buruk berakhir pada penentuan apakah hal tersebut dosa atau amal. Tanpa menafikkan akal sebagai penentu benar dan salah, kita hanya bisa menentukan dosa atau amal berdasarkan penilaian hati apakah hal tersebut baik atau buruk. Baik memperoleh konsekwensi sebagai amal, sebaliknya buruk memperoleh konsekwensi sebagai dosa.
Perbuatan dosa atau amal yang dilakukan oleh manusia dilakukan atas kerjasama lahir dan batin, jiwa dan raga, jazad dan roh yang menyatu pada diri manusia. Tidak satupun manusia di duania ini yang menginginkan untuk melakukan perbuatan dosa. Kebutuhan jasmani dan rohani manusia yang penyebab utama manusia melakukan pebuatan dosa.
Pertanyaan besar bagi kita adalah “apakah perbuatan dosa itu sepenuhnya atas kehendak dan kemampuan manusia atau terdapat faktor lain yang menjadi penunjang terjadinya perbuatan dosa” ? Jawaban sederhana yang dapat diajukan adalah “perbuatan dosa itu sepenuhnya atas kehendak dan kemampuan manusia”. Kembali kepada konsep manusia sebagai makhluk ciptaan yang tidak memiliki segalanya dan tidak berkehendak atas segalanya, jawaban tersebut masih perlu dikaji.

Kemauan & Keyakinan



Begitu indah ciptaan Tuhan hingga manusi terlena dengan apa yang disuguhkan kepadanya di dunia ini. Hembusan angin membuat tubuhhku ingin segera terlentang di balai-balai bambu selepas menjalankan ibadah shalat Duhur dan dalam sekejap mataku terpejam seperti dibuai oleh alam. Aku merasa berada jauh dari tempat asalku seakan menjadi orang asing dikerumunan hiruk pikuk orang yang hendak menyaksikan sesuatu. Aku berjalan menyisir tempat yang tidak kukenal lalu berhenti sejenak memandang sebuah tiang yang berdiri kokoh. Kuarahkan pandanganku ke segala sisi tempat itu, aku termangu menyaksikan sebuah tiang yang tepat berada diujung jalan.
Dengan tergesa-gesa aku melangkahkan kaki ke arah tiang tiang itu. Astaga !!!! siapakah gerangan dirinya yang digantung pada tiang itu ?  Aku berusaha mencari sesorang yang hendak aku tanya tentang apa yang baru saja kusaksikan. Seperti biasa aku mengarahkan pandangan ke segala sisi tempat aku berdiri. Aku dikagetkan dengan tepukan tangan di pundak kiriku. “Engkau mencari siapa ?” Sosok itu bertanya kepadaku. “Aku mencari seseorang yang tinggal di daerah ini” Jawabku terbata-bata. “Tempat ini jauh dari pemukiman, tempat ini adalah tempat bagi orang-orang yang dihukum atas perbuatannya” Ia menjawab seakan ia mengenal dengan persis daerah ini. “Maaf, Anda siapa ?” Tanyaku sambil menatap ke arahnya. “Aku adalah kemauan yang selalu bersamamu sepanjang hidupmu” Jawabnya sambil tersenyum. “Siapa orang yang digantung pada tiang itu dan kenapa ia harus digantung ? Tanyaku sambil menunjuk ke arah tiang dimana sesorang yang sudah tak bernyawa tergantung. “Ia adalah pendosa besar sehingga ia harus dihukum untuk menebus segala dosanya” Jawabnya seakan ia  mengenal siapa orang yang tergantung pada tiang itu.
“Balasan yang diberikan kepadanya di duania ini tidak seberapa meskipun merenggut nyawanya dibandingka balasan yang hasus ia tanggung kelak” Tiba-tiba seseorang menyambung pembicaraan kami. “Maaf, Anda siapa ?” Tanyaku kepada sosok yang baru saja muncul. “Aku adalah keyakinan yang selalu bersamamu sepanjang hidupmu” Jawabnya sambil berjalan mendekat ke arahku, ia berhenti tepat di sisi kananku. “Apa yang engkau tau tentang orang yang tergantung pada tiang itu ?” Tanyaku pada sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku. “Ia adalah pendosa besar dan hukuman yang diberikan kepadanya tidak akan menghapus dosanya hingga ia terbebas dari hukuman di hari kemudian” Ia menjawab sambil menatap ke arah tiang itu. “Jadi bagimu, tidak ada pengampunan apalagi penghapusan dosa atas apa yang diperbuat oleh manusia ?” Aku bertanya atas keraguan terhadap apa yang ia sampaikan. “Bukankah Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Pemberi serta Penerima Taubat ?” Sosok yang mengaku dirinya adalah kemauanku kembali bertanya kepadaku. “Benar, demikianlah adanya Tuhanku terhadap ciptaan-Nya” Jawabku dengan singkat. “Andaikan engkau pernah berbuat dosa maka mohon ampunlah kepada Tuhanmu dan bertaubatlah niscaya Tuhanmu akan mengampuni dan menghapus dosamu” Penjelasannya memberiku sedikit ketenangan ketika kuingat perbuatan dosa yang pernah kulakukan.
“Maka celakalah ahli ibadah dan berbahagialah ahli dosa jika itu terjadi” Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinan kembali memburamkan pikiranku. “Mengapa engkau berkata demikian, bukankankah Tuhan Maha Pengampun ?” Tanyaku dengan penuh keheranan atas apa yang ia sampaikan. “Tuhanmu Maha Pengampun atas cipataan-Nya termasuk dirimu. Satu hal yang perlu engkau ingat bahwa ampunan ketika engkau bertaubat tidak dapat menghapus dosamu yang sebelumnya”. Jawabannya semakin membuatku bingung. “Jika demikian maka taubat itu tidak berguna bagi siapapun yang pernah berdosa, bukankah orang bertaubat agar dosa-dosanya diampuni ?” Tanyaku ingin tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya menjadi hakikat dari taubat. “Pernahkah engkau melihat seorang hamba yang terbukti bersalah dan mengakui kesalahannya di hadapan seorang Raja kemudia ia diampuni dan dibebaskan dari hukuman ? Begitulah perumpamaan taubat kepada Tuhanmu” Sosok yang mengaku dirinya adalah kemauanku memotong pembicaraan. “Memang banyak orang yang menginginkan dan berpendapat demikian, tetapi harus engkau ingat orang yang bebas dari hukuman karena mengakui kesalahannya tidak berarti bahwa dosa kesalahnnya terhapus. Dosa mereka tetap tercatat dan ampunan ia peroleh hanyalah merupakan kesempatan baginya untuk tidak melakukan kesalahannya lagi. Jika ia melakukan kesalahan yang sama maka hukuman yang ia dapatkan akan jauh lebih berat dibanding hukuman yang seharusnya ia terima ketika ia melakukan kesalahan untuk yang pertama kalinya”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku kembali membuka perdebatan.
Penjelasan yang disampaikan oleh dua sosok yang bersamaku seperti posisi langit dan bumi yang berbeda jauh. “Sampaikan kepadaku hakikat taubat yang sesungguhnya dihadapan Tuhanku !” Aku meminta untuk mengakhiri kebingungan yang berkecamuk dalam diriku. “Yakinlah bahwa Tuhanmu Maha Pemurah, Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat !” Sosok yang mengaku dirinya adalah kemauanku berkata sambil berjalan menjauh meninggalkanku. “Akan kutanamkan dalam ingatan dan hatiku tentang apa yang engkau sampiakan” Jawabku sebelum ia hilang dari pelupuk mataku. “Tidaklah keliru apa yang disampiakan olehnya kecuali engkau keliru menafsirkan dengan akal lalu engkau jadikan sebagai keyakinanmu” Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku dengan bijak menanggapi.
“Taubat pada hakikatnya adalah pemberian kesempatan kepada manusia yang pernah melakukan perbuatan dosa untuk mengakui perbuatannya dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi dikemudian hari”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku membuka pembicaraan lebih dalam tentang taubat. “Lalu bagaimana dengan dosa atas perbuatan sebelumnya ?” Tanyaku hendak mencari jawaban atas keraguanku terhadap pengahpusan dosa. “Tidak ada penghapusan dosa dalam agamamu dan Tuhanmu mengetahui segala perbuatan baik dan buruk yang engkau lakukan di dunia ini” Jawabnya singkat seakan tanpa keraguan. “Taubat dilakukan oleh manusia untuk meminta kesempatan kepada Tuhan agar masih ada waktu yang diberikan kepada mereka dalam berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Tuhan Maha Pengampun, maka siapapun yang memohon ampun dengan mengakui kesalahannya maka ia diampuni dan kesalahannya tetap tertuliskan sebagaimana yang ia lakukan. Tuhan Maha Penerima Taubat, maka siapapun yang bertaubat (meminta kesempatan) maka ia akan diberi kesempatan. Demikianlah hakikat ampunan dan penerimaan taubat yang sebeanrnya”. Ia memberikan penjelasan yang lebih dalam dan menjawab segala keraguanku. Sekali lagi dalam perjalananku yang penuh perdebatan, keyakinanku mengalahkan kemauanku. “Barang siapa yang berbuat baik meskipun sebesar biji zarrah maka Tuhan akan membalasnya dengan kebaikan dan mustahil bagi Tuhan membalasnya dengan keburukan. Barang siapa yang berbuat keburukan meskipun sebesar biji zarrah maka Tuhan akan membalasnya dengan keburukan dan mustahil bagi Tuhan membalasnya dengan kebaikan. Yakinlah bahwa Tuhan adalah Dzat yang konsisten dan komitmen atas firman-Nya. Sesungguhnya kebenaran itu datang dari Tuhanmu maka janganlah sekali-sekali menjadi orang yang ragu” Kalimat itu mendengungkan gendang telinga dan menggetarkan batinku sebelum sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku hilang dihadapanku seperti debu yang tertiup angin.
Belum sempat ku kedipkan mata kala tengadah dibawah langit mendung dengan hembusan angin yang menerpa tubuhku dengan perlahan, satu-persatu tetesan air jatuh menyentuh wajahku pertanda akan segera turun hujan. Aku terbangun karena tetesan air yang jatuh dari dedaunan pohon yang tumbuh tepat di samping balai-balai tempatku merebahkan badan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari surau menandakan waktunya mendirikan shalat Ashar. Aku bergegas meninggalkan balai yang menjadi saksi perdebatan kemauan dan keyakinanku dalam perjalananku di alam lain. Sekali lagi keyakinanku tetap kokoh berdiri meski badai kemauan mengamuk dalam diriku.

~~~ ooo0ooo ~~~
taubat tidak menghapus dosa

Kemauan atau Keyakinan

Tuhan

Malam yang semakin kelam memberi isyarat agar aku menjemput indahnya mimpi, perjalananku di alam lain diawali tepat ketika kepalaku menyentuh bantal dan badanku dibungkus selimut tebal. Entah aku bermimpi atau tidak, tapi ini terasa nyata bahkan mempengaruhi alas fikirku. Aku berjalan seorang diri menuju puncak dengan seberkas cahaya yang menyilaukan. Aku menyusuri jalan setapak dibalik bukit penuh semak belukar. Sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan cahaya yang menyilaukan di puncak bukit itu. Menurut perhitunganku, jarak puncak bukit dan tempatku berada tidak jauh lagi namun perjalanan ini sungguh melelahkan seakan jaraknya begitu jauh dan tak mampu untuk dijangkau. Dengan keras hati kulanjutkan perjalanan hingga kutemukan sebuah pohon dengan buah lebat dengan bau harum. Perjalanan yang melelahkan ini pastilah membuatku haus dan lapar dan timbul keinginan untuk memetik buah dari pohon itu untuk segera kusantap dengan lahap demi menghilangkan haus dan laparku.
Kulihat salah satu buah yang berukuran besar dan berwarna merah dan dengan segera kugapai hendak kupetik. Tiba-tiba terdengar suara menyelaku “Jangan !!! pohon dengan buah lebat itu bukan milikmu.” Aku menoleh ke sisi kananku lalu kulihat sosok dengan wajah bersinar. “Maaf, apakah pohon dengan buah lebat ini miliki anda ?” tanyaku sambil menatap tepat kewajahnya. “Bukan, pohon dengan buah lebat ini bukan milikku”. Ia menjawab sambil menggelengkan kepala. “Lalu, anda siapa ?” Tanyaku sembari mendekati. “Aku  adalah keyakinan yang selalu bersamamu sepanjang hidupmu.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku terdiam sejenak, sampai aku dikejutkan lagi dengan suara yang menyuruhku “Petik saja buah itu !!! buah itu untuk menolong orang yang melakukan perjalanan jauh yang sedang keahausan dan kelaparan.” Aku menoleh ke sisi kiriku lalu kulihat sosok dengan wajah kelam. “Maaf, apakah pohon dengan buah lebat ini milik anda ?.” tanyaku sambil membalik pandanganku ke wajahnya. “Bukan, pohon dengan buah lebat ini bukan milikku”. Ia menjawab sambil menggelengkan kepala. “Lalu, anda siapa ?” Tanyaku sembari mendekati. “Aku  adalah keinginan yang selalu bersamamu sepanjang hidupmu.” Jawabnya sambil tersenyum.     
Dalam keadaan bingung aku terdiam dan bersandar pada batang pohon dengan buah lebat sambil menatap satu-persatu sosok yang menghampiriku saat itu. “Apakah engkau akan membiarkan dirimu tersiksa dalam keadaan lapar dan haus, sedangkan Tuhanmu tidak menghendaki ciptaannya menganiaya dirinya sendiri ?” Sosok yang mengaku dirinya adalah keinginanku kembali bertanya. “Tidak, aku tidak akan membiarkan diriku dalam keadaan lapar dan haus, aku juga tidak akan berdosa kepada Tuhanku dengan menganiaya diriku”. Jawabku membenarkan ucapannya. “Maka petik dan makanlah buah itu, niscaya Tuhanmu akan memaafkanmu jika itu salah karena engkau mengambil sesuatu yang bukan milikimu”. Ia berkata seakan tahu apa yang ada dalam fikiranku. Aku beranjak dari tempatku menuju buah yang kuperhatikan sebelumnya. “Tunggu ! Apakah engkau akan mengambil sesuatu yang bukan milikimu, sedangkan Tuhanmu melarang engkau mengambil sesuatu yang bukan menjadi hakmu ?” Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku kembali menyelaku sebelum aku melangkahkan kaki selangkahpun. “Dan apakah engkau rela jika sesuatu yang engkau usahakan yang seharusnya menjadi milik dan hakmu diambil oleh orang lain ?” Ia bertanya lagi seakan ia tahu yang ada dalam hatiku. “Tidak, aku tidak akan mengambil sesuatu yang bukan milikku, aku juga tidak ingin berdosa kepada Tuhanku dengan mengambil sesuatu yang bukan menjadi hakku dan terlebih lagi aku pasti tidak akan rela jika orang lain mengambil sesuatu dariku yang sepenuhnya adalah milik dan hakku”. Jawabku membenarkan ucapannya. ”Maka janganlah engkau petik apa lagi hendak memakan buah itu, niscaya Tuhanmu akan memberikan kemudahan bagimu atas keyakinanmu dan Tuhanmu Maha Mengetahui” Aku kembali duduk dan bersandar pada batang pohon itu dengan penuh kebingungan.
Sosok yang mengaku dirinya adalah kayakinanku berjalan ke arahku sambil berkata “Bukankah Tuhanmu Maha Berkehendak bahkan Tuhanmu Maha Segalanya ? Jika demikian maka apa yang terjadi pada dirimu hari ini adalah kehendak Tuhanmu”. Di sisi lain, sosok yang mengaku dirnya adalah keyakinan menatapku sambil tersenyum. “Jika demikian adanya, maka aku melakukan perjalanan ini karena kehendak Tuhanku dan segala yang kulakukan hari ini adalah kehendak Tuhanku” Sejenak pikiranku membenarkan. “Memang Tuhanmu Maha Segalanya dan Maha Berkehendak, dan kehendak Tuhanmu tidak terbatas pada apa yang engkau lakukan bahkan yang tidak engkau lakukan sekalipun adalah kehendak Tuhanmu” Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku berjalan mendekatiku. “Jika aku mengambil sesuatu yang bukan milikku dan bukan menjadi hakku maka itu adalah kehendak Tuhanku, dan jika hal itu salah atau dosa maka Tuhanku ikut bersalah dan berdosa karena Tuhankulah yang menghendaki itu terjadi” Tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibirku sebagai jelmaan pikiranku. “Tentu ! karena engkau sebagai manusia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhanmu dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhanmu bahkan tidak ada satu halpun yang terjadi jika Tuhanmu tidak menghendakinya”. Sosok yang mengaku dirinya adalah kemauanku membenarkan. “Engkau tidak menyalahkan Tuhanmu atas apa yang engkau lakukan karena kehendak Tuhanmu tidak berhubungan langsung dengan apa yang terjadi pada dirimu”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku mengemukakan sesuatu yang membuatku kembali berfikir. “Jika segala yang kulakukan dan yang tidak kulakukan adalah kehendak Tuhanku, maka akulah yang harus bekehendak atas diriku karena apapun kehendakku maka Tuhanku menghendakinya”. Kalimat itu tiba-tiba terlontar sesaat setelah terbersik dalam hatiku. “Tentu ! engkau bebas memilih untuk melakukan sesuatu dalam hidupmu sehingga apapun yang engkau lakukan adalah murni kehendakmu dan engkau tidak bisa menyalahkan ataupun membawa Tuhanmu dalam perbuatanmu”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku mebenarkan.
“Tuhan menghendaki yang baik dan buruk, tapi kehendak itu terjadi jika engkau sebagai manusia memenuhi syaratnya, jika engkau memenuhi syarat yang baik untuk dirimu maka kendak Tuhan yang baik atas dirimu akan terjadi, namun sebaliknya jika engkau memenuhi syarat yang buruk untuk dirimu maka kehendak Tuhan yang baik atas dirimu akan terjadi” Sosok yang mengaku keyakinanku memberikan sedikit ruang pikir bagiku untuk memutuskan apa yang harus kulakukan. “Kehendak Tuhan layaknya aturan yang menentukan ketukan palu seorang hakim pada sebuah persidangan. Ketukan palu hakim itu ditentukan berdasarkan syarat-syarat yang dipenuhi apakah seseorang harus dihukum atau tidak sesuai dengan perbuatannya. Jika perbuatannya memenuhi syarat berdasarkan aturan untuk dihukum maka hakim mengetuk palu agar ia dihukum dan jika sebaliknya perbuatannya memenuhi syarat berdasarkan aturan untuk tidak dihukum maka hakim mengetuk paku agar ia bebas dari hukuman”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku memberikan analogi tentang kehendak Tuhan.
“Lalu bagaimana jika hakim salah menjatuhkan vonis dengan mengetuk palu karena bukti yang diberikan salah ?” Sosok yang mengaku dirinya kemauanku tiba-tiba bicara sambil menatap kearahku. “Jika itu terjadi maka hakim tidak bersalah karena ia memutuskan sesuatu berdasarkan bukti, ketukan palunya didasarkan pada bukti disuguhkan kepadanya”. Sosok yang mengaku dirinya keyakinanku menjawab dengan singkat. Perdebatan keduanya semakin mengacaukan pikiranku. “Lalu apa kaitannya ketukan palu seorang hakim dengan kehendak Tuhan ?” Aku bertanya hendak memperjelas perdebatan mereka. “Seorang hakim memiliki kehendak penuh atas ketukan palunya untuk menentukan seseorang harus dihukum atau bebas dari hukuman, tetapi ketukan palu itu ditentukan oleh perbuatan orang tersebut yang dijadikan bukti. Jika perbuatannya membuktikan bahwa ia bersalah berdasarkan aturan yang ada maka ketukan palu hakim akan menghendaki ia harus dihukum demikian pula sebaliknya. Meskipun Tuhan berkehendak atas segala yang hal baik dan buruk yang terjadi di dunia ini, tetapi kehendak itu ditentukan pada pemenuhan syarat yang dilakukan oleh manusia. Jika manusia memenuhi syarat yang baik maka Tuhan menentukan kehendaknya yang baik bagi manusia demikian pula sebaliknya”. Penjelasan sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku membuatku bungkam. Aku menoleh ke sisi kiriku dan sosok yang mengaku dirinya adalah kemauanku lenyap dari dari pandanganku.
“Ingatlah bahwa Tuhan Maha Berkehendak atas dirimu dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, akan tetapi kehendak Tuhan tidak terletak pada pada yang engkau lakukan dan atas apa yang terjadi. Kehendak Tuhan terletak pada syarat yang telah ditetapkan oleh-Nya dan syarat Tuhan melingkupi segala hal yang baik dan buruk. Jika engkau ingin Tuhanmu menghendaki hal baik atas dirimu maka penuhilah syarat baik seperti yang telah ditetapkannya karena Tuhanmu memberimu kebebasan untuk memilih dan memenuhinya. Hanya engkau yang akan mendapatkan hasil perbuatanmu karena engkaulah yang memenuhi syarat atas perbuatanmu. Sesungghuhnya Tuhanmu adalah Hakim yang paling Adil”. Sosok yang mengaku dirinya adalah keyakinanku berpesan sebelum ia menghilang dari pelupuk mataku.
Dari kejauhan tampak seorang yang sudah bungkuk memikul cangkul dengan sebatang tongkak ditangan kanananya berjalan menuju tempatku berdiri. Ia menghampiriku dan berkata “Anak muda nampaknya kau kelelahan, engkau terlihat lapar dan haus”. Ia berkata sambil menepuk pundakku. “Ia kek, aku sedang dalam perjalanan menuju puncak gunung itu”. Jawabku sambil menunjuk ke arah bukit dimana aku melihat cahaya yang menyilaukan. “Engkau sedang berada dibawah pohon dengan buah yang lebat, petiklah dan makan hingga hilang rasa haus dan laparmu !”. Ia memintaku sambil menunjuk ke arah pohon yang batangnya tepat berada di belakangku. “Tapi pohon dengan buah lebat ini bukan milikku dan akau tidak mau mengambil sesuatu yang bukan milikkku” Jawabku sembari menggelengkan kepala. “Pohon itu aku rawat dengan baik hingga berbuah selebat itu. Aku tinggal jauh diseberang bukit dan aku berharap pohon itu bisa bermanfaat bagiku tetapi tidak semua buahnya mampu aku pikul untuk kebawa pulang. Lalu aku berdoa semoga pohon itu berguna bagi orang lain dan hari ini Tuhan mengabulkan doaku. Petiklah buah itu karena ini adalah kehendak Tuhanmu dan engkau bukanlah golongan orang-orang yang sesat dan bukan pula golongan orang-orang yang mengambil sesuatu yang tidak menjadi hakmu !” Ia bercerita seakan ia tahu apa yang kualami sesaat sebelum ia tiba dihadapanku.
Belum sempat aku memetik salah satu buah dari pohon itu, terdengar suara keras yang mengagetkanku. Aku menoleh dan seberkas cahaya yang menyilaukan tepat berada dihadapanku, aku terbangun mendengar sura pukulan beduk adzan subuh dan cahaya lampu yang menyala tepat di langit-langit kamarku. Ternyata aku bermimpi, tapi apa yang terjadi padaku membekas dalam ingatanku. Dalam mimpi sekalipun keyakinanku tetap utuh dan untuk yang pertama kalinya keyakinanku mengalahkan kemauanku.
~~~ ooo0ooo ~~~

Manikmati Masalah

Masalah merupakan sebuah siklus. Siklus yang tentunya hanya berubah dari sudut pandang asas kebermanfaatan dari kondisi yang dialami oleh ma...